Sistem Tanam Paksa di Bengkulu (1833-1870): Pelaksanaan dan Dampaknya Bagi Penduduk
Oleh: Dedy Irawan
Bengkulu adalah salah satu daerah di luar Pulau Jawa pada pertengahan abad ke-19 yang dijadikan tempat pelaksanaan Sistem Tanam Paksa.[1] Sistem Tanam Paksa adalah kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada abad ke 19, terutama difokuskan di Pulau Jawa, berupa penyerahan wajib tanaman-tanaman ekspor oleh penduduk untuk memenuhi komoditi dagang bagi kepentingan ekonomi kerajaan induk Belanda. Sistem Tanam Paksa direncanakan oleh Komisaris Jenderal Hindia Belanda, J. Van den Bosch, untuk mengatasi kekosongan keuangan negeri induk Belanda akibat perang Diponegoro (1825-1830), perang kemerdekaan di Belgia, dan akibat sistem pajak tanah di Hindia Belanda yang tidak mencukupi.
1
Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa sebagai reaksi atas kegagalan sistem pajak tanah yang diterapkan Raffles, berhasil memperoleh untung tinggi.[2] Keberhasilan Sistem Tanam Paksa mulai menarik minat pemerintah Belanda untuk memperluas jangkauan sistem tersebut hingga ke daerah-daerah luar, di antaranya di kawasan Pantai Barat Sumatra, yakni di wilayah Bengkulu.[3]
Memasuki paruh kedua abad ke 19, Inggris yang menguasai kawasan Pantai Barat Sumatra sejak memperoleh konsesi dagang dari pemuka pribumi tahun 1685 harus menyerahkan wilayah Bengkulu kepada pemerintah Hindia Belanda sebagai konsekuensi ditandatanganinya Traktat London, tanggal 17 Maret 1824. Sebagai gantinya, Inggris memperoleh bandar Malaka (Singapura) yang telah diduduki Belanda sejak tahun 1818, dan Belanda mendapatkan seluruh jajahan Inggris di Pulau Sumatra, kecuali daerah Aceh.[4]
Dalam perkembangannya, pemerintah Belanda yang menjadi pemilik sah wilayah koloni Bengkulu berdasarkan Traktat London 1824 mulai menjalankan kebijakan ekonomi politik melalui Tanam Paksa Lada tahun 1832. Tanam Paksa Lada itu berlangsung di bawah pengawasan Asisten Residen Bengkulu, Johannes Hendrik Knoerle. Dalam ketentuannya, Tanam Paksa Lada mewajibkan penduduk untuk menanam lada sebanyak 700 ranting lada bagi tiap-tiap keluarga (batten) dan 300 ranting lada untuk tiap-tiap bujang (boedjang). Tanam Paksa Lada itu melibatkan para pemuka pribumi sebagai pihak yang memberikan rekomendasi penanaman (lada) kepada pemerintah Belanda. Tanam Paksa Lada ditandatangani pada tanggal 9 Desember 1832 di daerah Krui, 15 Desember 1832 di daerah Kaur, 22 Desember 1832 di daerah Selumah, 2 Januari 1833 di daerah Pally, 4 Januari 1833 di daerah Lais, dan 10 Januari 1833 di wilayah Muko Muko.[5]
Pada tanggal 28 Juli 1833, Asisten Residen J.H. Knoerle terbunuh. Sebab-sebab terbunuhnya Asisten Residen J.H. Knoerle (1831-1833) adalah akibat kebijaksanaan politik pemerintahannya yang dianggap merugikan kepentingan tradisional pemuka pribumi.[6] Terbunuhnya J.H. Knoerle itu akhirnya dianggap sebagai akhir pelaksanaan Tanam Paksa Lada.
Pada tanggal 14 Oktober 1833, Komisaris Jenderal Hindia Belanda, Johannes Van den Bosch yang menggantikan Komisaris Jenderal Hindia Belanda, Du Bus de Gisignies (1826-1830), mengesahkan surat keputusan no. 369, tentang ketentuan pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Bengkulu sebagai bentuk perluasan dari pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa.
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di wilayah Bengkulu menjadi terhambat akibat perlawanan Kaum Paderi[7] di Sumatra Barat yang banyak menyita perhatian pemerintah. Akhirnya, surat keputusan tentang pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Bengkulu dikeluarkan setelah ditandatanganinya Plakat Panjang sebagai upaya pemerintah Belanda mengatasi perlawanan Kaum Paderi di Sumatra Barat.
Menurut ketentuan pokoknya yang terlampir dalam Lembaran Negara Hindia Belanda tahun 1834, no. 22,[8] Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa memuat pasal-pasal penanaman, sebagai berikut:
1. setiap penduduk diminta untuk menyediakan tidak lebih dari 1/5 dari luas tanahnya untuk ditanami tanaman-tanaman ekspor,
2. pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman ekspor itu tidak lebih dari waktu yang digunakan untuk menanam padi,
3. bagian tanah yang digunakan untuk penanaman tanaman-tanaman ekspor dibebaskan dari pajak tanah,
4. selisih positif dari hasil penjualan tanaman ekspor dibandingkan dengan jumlah pajak tanah yang harus dibayar petani menjadi milik petani,
5. hasil panen yang gagal, dan bukan disebabkan oleh kelalaian petani akan ditanggung oleh pemerintah Hindia Belanda, dan
6. penduduk desa yang bekerja dalam usaha penanaman itu akan diawasi oleh kepala-kepala pribumi, sementara pada saat pembajakan, penyerahan, dan pengangkutan akan diawasi oleh pemerintah Hindia Belanda.
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa aturan Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa tidaklah terlalu memberatkan. Tetapi dalam pelaksanaan di lapangan terjadi banyak penyimpangan, baik yang dilakukan oleh pemuka pribumi ataupun pejabat pemerintah Belanda, sehingga menyengsarakan rakyat.[9]
Perlu dikemukakan, bahwa ketentuan Sistem Tanam Paksa yang ditetapkan Van den Bosch pada tahun 1830 di Pulau Jawa pada dasarnya bukanlah suatu sistem penanaman tunggal yang mencakupi pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di seluruh wilayah di Hindia Belanda tetapi pelaksanaan sistem itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi lokal. Oleh sebab itu, tak mengherankan bila pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di daerah luar Pulau Jawa memperlihatkan hasil dan dampak yang berbeda-beda.
Sistem Tanam Paksa di Sumatera Barat, menurut Kenneth R. Young,[10] telah melahirkan dampak stagnasi ekonomi bagi penduduknya dan kemacetan politik pada dasawarsa terakhir abad ke 19, sedangkan Sistem Tanam Paksa di Bengkulu, menurut Haroen Harjono,[11] tidak banyak berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi penduduk.
Sistem Tanam Paksa di Sumatra Barat berfokus pada penanaman wajib kopi dimana penduduk dihimbau untuk menanam kopi. Sebagai gantinya, sistem pajak kepala dihapuskan. Akibat-akibat pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di daerah itu ialah kehidupan ekonomi penduduk yang semula dinamis menjadi lumpuh setelah adanya aturan wajib penanaman kopi. Penduduk merespon aturan tersebut dengan memboikot arus perdagangan kopi sebagai salah satu komoditi utama Sumatra Barat. Di pihak lain, hirarki politik yang diciptakan pemerintah Belanda melalui Sistem Tanam Paksa melahirkan konflik internal di kalangan elite tradisional. Dalam perkembangannya, keadaan itu akhirnya memunculkan ketegangan politik dalam tubuh pemerintahan adat.
Sementara itu, Sistem Tanam Paksa di wilayah Bengkulu berlainan dengan Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa. Sistem Tanam Paksa di wilayah Bengkulu bersifat lunak atau liberal. Sistem Tanam Paksa di wilayah Bengkulu berfokus pada penanaman wajib lada dan kopi dimana setiap penduduknya diminta menanam 300 batang pohon kopi, atau 250 ranting lada per keluarga Dikatakan lunak, bahwa ketentuan itu mengisyaratkan penduduk untuk dapat memilih di antara kedua pilihan itu.
Dalam pelaksanaannya, diketahui bahwa sistem itu sedikit berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi penduduk karena penduduk sudah terbiasa menanam lada atau kopi. Tetapi penerapan Pajak Kepala setelah dihapuskannya Sistem Tanam Paksa memberatkan penduduk. Sebagai akibatnya, muncul rasa tidak puas di kalangan penduduk yang berujung pada upaya pembunuhan terhadap Residen Hume, pada tanggal 17 April 1873, meski akhirnya upaya pembunuhan tersebut dapat digagalkan oleh pemerintah Belanda.
Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa sebagai tolak ukur pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Hindia Belanda pada abad ke 19 telah melahirkan dampak yang lebih besar. Menurut J.H. Boeke,[12] bahwa telah terjadi dualisme ekonomi selama dijalankannya sistem itu sehingga memunculkan kesenjangan sosial ekonomi demikian parah di antara penduduk Eropa dan kalangan pribumi.
Selain itu, menurut Clifford Geertz, Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa juga menyebabkan terjadinya wabah kelaparan, dimana sistem perkebunan besar (onderneming) yang beroperasi di areal persawahan penduduk telah mengurangi suplai padi petani. Di sisi lain, meningkatnya aktivitas pengolahan tebu di pabrik-pabrik yang juga beroperasi di atas areal persawahan penduduk juga memacu kenaikan angka jumlah penduduk. Sebagai akibatnya ialah luas areal persawahan penduduk berkurang sedangkan jumlah penghuninya bertambah. Secara perlahan proses itu memunculkan gejala involusi pertanian.[13] Tetapi tidak dipungkiri pula bahwa pertumbuhan ekonomi Pulau Jawa dalam bidang tanaman ekspor makin mantap dalam perdagangan internasional dengan adanya Sistem Tanam Paksa.[14]
Penelitian dimaksudkan untuk mengetahui pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Bengkulu (1832-1870) dan dampaknya bagi penduduk. Ruang lingkup yang digunakan dalam penelitian adalah wilayah Bengkulu meliputi: daerah Muko Muko, Lais, Selumah, Manna, Kaur, dan Krui. Sedangkan objek studi penelitian adalah Tanam Paksa Lada tahun 1832-1833, dan Sistem Tanam Paksa tahun 1833-1870. Untuk lingkup waktu penelitian adalah tahun 1832-1833 sebagai periode Tanam Paksa Lada, dan tahun 1833-1870 sebagai periode pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di wilayah Bengkulu
Berdasarkan judul dan latar belakang masalah di atas maka dapat diajukan beberapa rumusan masalah, adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran umum Bengkulu?
2. Bagaimana Tanam Paksa Lada tahun 1832-1833 di Bengkulu?
3. Bagaimana Sistem Tanam Paksa tahun 1833-1870 di Bengkulu?
4. Bagaimana dampak Sistem Tanam Paksa bagi penduduk?
Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
a. Menambah khasanah ilmu pengetahuan sejarah tentang Sistem Tanam Paksa di Indonesia, khususnya di daerah Bengkulu.
b. Sebagai sarana untuk melatih cara berpikir kritis, analitis, sistematis, dan objektif dalam menulis suatu karya sejarah.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk memperoleh gambaran umum Bengkulu.
b. Untuk memperoleh gambaran pelaksanaan Tanam Paksa Lada tahun 1832-1833 di Bengkulu.
c. Untuk memperoleh gambaran pelaksanaan Sistem Tanam Paksa tahun 1833-1870 di Bengkulu.
d. Untuk mengetahui dampak Sistem Tanam Paksa bagi penduduk.
Kajian Teori
Berbagai studi sejarah ekonomi dan sejarah sosial abad ke-19 di Indonesia menunjukkan bahwa pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di daerah-daerah luar Jawa memperlihatkan hasil dan dampak yang berbeda-beda. Perbedaan itu disebabkan oleh adanya variasi kedaerahan yang dimiliki, seperti perbedaan ekologi, struktur sosial, pengaruh luar, maupun budaya setempat. Oleh sebab itu, Kuntowijoyo berpendapat bahwa untuk beberapa daerah barangkali tidak cukup dengan menyebut ciri ekonomi dualistis saja. [15]
Meski demikian, pendapat J.H. Boeke mengenai dualisme ekonomi selama masa Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa masih dijadikan tolak ukur oleh penulis untuk melihat aspek-aspek sosial ekonomi dalam Sistem Tanam Paksa di wilayah Bengkulu. Adapun pernyataan teori dualisme ekonomi Boeke itu,[16] sebagaimana yang berlaku umum di negara-negara timur, di Hindia Belanda (terutama Pulau Jawa) dalam abad ke 19 telah menganut prinsip-prinsip ekonomi dualistis dimana telah berkembang dua sistem ekonomi yang berjalan sendiri-sendiri. Keadaan itu dicirikan oleh adanya dualisme ekonomi, seperti terlihat dalam faktor-faktor produksi: ekonomi pasar dan ekonomi subsistensi, rumah tangga dan rumah tangga barang, organisasi modern dan organisasi tradisional. Dualisme ekonomi itu di satu pihak diwakili sistem ekonomi kapitalisme Barat, yakni sistem perkebunan besar (onderneming), sedangkan di pihak lain diwakili sistem ekonomi petani yang bersifat subsistensi. Sebagai konsekuensi keadaan itu terjadi kesenjangan ekonomi, sosial dan politik yang lebar di antara penduduk Eropa dan kalangan pribumi.
Adapun pendapat lainnya mengenai sistem ekonomi masyarakat yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi sistem ekonomi di wilayah Bengkulu adalah klasifikasi sistem ekonomi Robert L. Heilbroner. Menurut Robert L. Heilbroner terdapat 3 bentuk sistem ekonomi yang pernah berkembang di masyarakat, yakni: 1) Sistem Ekonomi Tradisi, 2) Sistem Ekonomi Komando, dan 3) Sistem Ekonomi Pasar.[17] Sistem Ekonomi Tradisi adalah sistem ekonomi yang didasarkan pada organisasi sosial, dimana prosedur penyelesaian masalah produksi dan distribusi dilakukan sesuai dengan kebiasaan turun temurun dan ditetapkan oleh kebiasaan dan adat istiadat. Sistem Ekonomi Komando yaitu sistem ekonomi yang bersifat memaksa yang didasarkan pada pengaturan suatu sistem yang sesuai dengan perintah dari komando tertinggi ekonomi. Adapun sistem Ekonomi Pasar yaitu sistem ekonomi yang berdasarkan mekanisne organisasi pasar, suatu organisasi yang memungkinkan masyarakat memenuhi kebutuhannya dengan sedikit sekali menggunakan unsur tradisi atau komando. Dalam hal ini, untuk mengidentifikasi sistem ekonomi di Bengkulu penulis menggunakan klasifikasi Ekonomi Tradisi, yaitu sistem ekonomi yang dalam prosedur penyelesaian masalah produksi dan distribusinya diselenggarakan berdasarkan kebiasaan dan adat istiadat.[18]
Untuk memperoleh pengertian mengenai Sistem Tanam Paksa di Bengkulu, dalam kajian ini penulis menggunakan pandangan-pandangan Clifford Geertz mengenai pelaksanaan Sistem Tanam Paksa (cultuurstelsel) di Pulau Jawa. Dalam buku kajiannya yang berjudul Involusi Pertanian. Proses Perubahan Ekologi di Indonesia,[19] Geertz berpendapat bahwa Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa telah menyebabkan tingginya angka jumlah penduduk, dimana munculnya sistem perkebunan besar menuntut adanya persyaratan tenaga kerja. Sentra ekonomi yang diciptakan melalui aktivitas sistem perkebunan besar dalam Sistem Tanam Paksa menyerap banyak tenaga kerja sehingga memacu tingkat perkembangan penduduk. Pada sisi lain, besarnya perkembangan penduduk tidak diimbangi oleh luasnya lahan pertanian sehingga memunculkan gejala involusi pertanian. Sebagai konsekuensi involusi pertanian ialah timbulnya kemiskinan bersama.
Selain itu, menurut Geertz, adanya perbedaan struktur ekologis pada saat yang sama akan memunculkan sifat-sifat ekonomi yang saling berlawanan di tiap-tiap daerah. Geertz membagi dua kategori besar struktur ekologis Indonesia, yaitu: Indonesia Dalam dan Indonesia Luar. Indonesia Dalam meliputi Jawa (bagian barat laut, tengah dan timur), Bali (bagian selatan), dan Lombok (bagian barat), sedangkan Indonesia Luar mencakup daerah bagian Luar Jawa selebihnya ditambah Jawa bagian barat daya, yaitu: Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara.
Dalam buku kajiannya, Geertz juga membagi jenis-jenis tanaman selama berlangsungnya Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa, yaitu tanaman tahunan dan tanaman keras, dimana kedua jenis tanaman itu telah mengembangkan dua gaya saling pengaruh yang sangat bertentangan dengan kehidupan biotis yang sudah mapan, dimana kedua tanaman itu dimasukkan. Kategorisasi Geertz mengenai jenis tanaman dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis-jenis tanaman yang diusahakan dalam Sistem Tanam Paksa di Bengkulu.
Adapun pendapat B.J.O. Schrieke[20] mengenai peranan penguasa tradisional pribumi (bupati) dalam Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa, meskipun sedikit berbeda struktur sosiologinya di Bengkulu, dapat memberi kerangka acuan dalam menjelaskan peranan penguasa tradisional pribumi dalam Sistem Tanam Paksa di daerah, dimana penguasa tradisional pribumi itu semata dijadikan alat kekuasaan kolonial pemerintah Belanda dalam upayanya mengeksploitasi sumber kekayaan alam tanah jajahan. Para penguasa tradisional pribumi seakan sudah menjadi bagian dari struktur birokrasi pemerintahan kolonial Belanda yang ikut menikmati hasil eksploitasi tanah, dan juga penduduk, yang dipimpinnya.
Pendapat lainnya ialah bahwa kedudukan politis para bupati di Pulau Jawa pada abad ke 19 bergerak lurus dengan kepentingan ekonomi kolonial pemerintah Belanda sehingga untuk mendukung kebijaksanaan ekonomi kolonial, prestise dan kedudukan bupati-bupati itu, dalam birokrasi pemerintahan tradisional maupun kolonial, haruslah diperkuat.[21]
Sejalan dengan pendapat itu, D.H. Burger menyebutkan bahwa untuk dapat menjalankan roda pemerintahan di daerah-daerah, secara efektif dan efisien, perlu digunakan ikatan organisasi desa sekaligus mengembalikan posisi politis para penguasa tradisional pribumi sebagai “raja kecil” yang berkuasa di daerahnya agar dapat meneruskan kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda kepada penduduk di daerah.[22] Dengan adanya legalitas-formal kekuasaan tradisional para penguasa pribumi, diharapkan mobilisasi tenaga penduduk (petani), untuk menjalankan ketentuan Sistem Tanam Paksa, dapat berjalan dengan lancar.
Sartono Kartodirdjo berpendapat bahwa Sistem Tanam Paksa senantiasa melahirkan dampak sosial dan ekonomi bagi penduduk, di antaranya ialah konflik. Salah satu proposisi Teori Konflik[23] Karl Marx (1818-1883) menyatakan bahwa konflik sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat disebabkan terutama oleh faktor ekonomis. Konflik sosial itu terjadi disebabkan oleh serangkaian tindakan kelas penguasa yang berusaha menekan kelas sosial yang ada di bawahnya. Kelas sosial yang dimaksudkan Karl Marx adalah kelas penguasa yang diwakili oleh para tuan tanah atau pengusaha pemilik modal pada satu pihak, dan kelas buruh sebagai kelas sosial rendahan pada pihak lain. Dalam hal ini, perseteruan antar kelas-kelas, yakni para tuan tanah atau pengusaha pemilik modal pada satu pihak, dan buruh di pihak lain, senantiasa melahirkan konflik sosial, ekonomi, maupun politik. Proposisi Teori Konflik Karl Marx yang digunakan dalam skripsi ini dapat memberi jawaban sementara mengenai dampak sosial, ekonomi dan politik Sistem Tanam Paksa.
Historiografi yang Relevan
Historiografi menurut Louis Gottschalk[24] adalah suatu rekonstruksi imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan jalan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Selain itu juga merupakan sebuah usaha mensintesakan data sejarah menjadi sebuah kisah atau penyajian historiografis lewat jalan menulis buku-buku sejarah atau artikel.
Historiografi yang relevan yang digunakan dalam penelitian ini adalah skripsi dan tesis, sebagai berikut:
Skripsi S1 Harjono Haroen (1990), yang berjudul “Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Bengkulu. Suatu Tinjauan Sejarah Sosial Ekonomi”, Surakarta: Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret, skripsi tidak diterbitkan. Historiografi ini merupakan tinjauan sejarah sosial ekonomi atas pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Bengkulu yang juga menjelaskan sistem sosial-ekonomi dan struktur sosial penduduk.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Sistem Tanam Paksa di Bengkulu yang berfokus pada penyerahan wajib tanaman lada dan kopi tidak berpengaruh banyak terhadap kehidupan sehari-hari penduduk mengingat penduduk terbiasa menanam lada dan kopi untuk komoditi dagang. Tetapi penerapan Pajak Kepala yang menggantikan Sistem Tanam Paksa, sangat memberatkan penduduk. Akibat penerapan Pajak Kepala tersebut ialah menimbulkan ketidakpuasan penduduk terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Satu hal yang perlu dikoreksi dari hasil penelitian Haroen Harjono ini adalah kesimpulannya yang menyatakan bahwa Sistem Tanam Paksa yang dijalankan di Bengkulu tidak menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk erbeda halnya dampak demografis yang dirasakan di Pulau Jawa selama berlangsungnya Sistem Tanam Paksa, justru yang terjadi di wilayah Bengkulu adalah sebaliknya. Populasi penduduk di daerah ibukota Bengkulu pada awal dilaksanakan Sistem Tanam Paksa pada tahun 1833 berkurang setelah diumumkannya Sistem Tanam Paksa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang mewajibkan seluruh penduduk untuk menanam komoditas tanaman dagang, lada dan kopi.
Berdasarkan penelusuran penulis bahwa menurunnya jumlah penduduk di ibukota Bengkulu pada tahun 1833 lebih disebabkan oleh banyaknya kerusuhan yang disebabkan maraknya aksi pencurian, pembunuhan, dan perampokan. Pada tahun itu pula, salah seorang penguasa tradisional pribumi, Pangeran Linggang Alam, meninggal dunia. Oleh karena lemahnya tingkat keamanan ibukota akibat kekosongan pucuk pemerintahan tradisional maka memunculkan kegelisahan di kalangan penduduk (hlm. 201-202, dan Suplement 5, mengenai “Cerita tentang kerusuhan di Bengkulu tahun 1833”, hlm. 311).
Meski demikian, hasil penelitian Harjono Haroen mengenai pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Bengkulu dalam penulisan skripsi ini tetap digunakan sebagai bahan pembanding untuk membahas topik yang sama, yakni Sistem Tanam Paksa di Bengkulu (1832-1870). Dalam membahas objek penelitiannya, Harjono hanya menggunakan satu data statistik, yaitu laporan penanaman tahun 1845, tetapi dalam penelitian ini digunakan data statistik lebih kompleks, yakni laporan tahunan 1840, 1845, 1850, dan 1855. Dengan demikian, penelitian yang akan dilakukan menjangkau dimensi waktu lebih luas.
Tesis S2 Agus Setiyanto (1995), yang berjudul “Elite Pribumi Bengkulu Abad ke-19,” (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, tesis tidak diterbitkan). Lihat juga Agus Setiyanto. 2001. Elite Pribumi Bengkulu Perspektif Abad ke 19. Jakarta: Balai Pustaka (versi buku). Secara garis besar historiografi ini adalah tinjauan politik atas perkembangan elite pribumi Bengkulu selama masa penjajahan Inggris dan Belanda. Pembahasan dalam buku ini meliputi kebijakan ekonomi dan sosio-politik pemerintah Inggris dan Belanda terhadap elite pribumi, semisal: eksploitasi ekonomi, restrukturisasi pemerintahan, dan reformasi sistem politik tradisional.
Dalam historiografi ini disebutkan bahwa kegagalan Tanam Paksa Lada tahun 1832 dipengaruhi pula oleh pola hubungan tradisional antara elite pribumi dan penduduknya yang bersifat horizontal. Seperti dikemukakan dalam buku ini:
... bahwa ikatan yang bersifat horizontal merupakan hubungan sederajat dan pertukarannya saling melengkapi karena masing-masing anggota masyarakat mempunyai sistem nilai yang sama. Dengan sifat hubungan yang horizontal keduanya akan saling menghormati dan akrab dalam memelihara tradisinya (hlm. 174).
Tanam Paksa Lada pada tahun 1832, menurut Agus Setiyanto, terhambat pelaksanaannya oleh karena adanya pola hubungan seperti ini, meskipun dalam surat perjanjian Tanam Paksa Lada tersebut telah disetujui oleh seluruh pemuka pribumi.
Tesis S2 Endang Rochmiatun (2002), yang berjudul “Perubahan Ekonomi dan Perkembangan Islam di Bengkulu Akhir Abad XIX hingga Awal Abad XX”. (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, tesis S2 tidak diterbitkan). Historiografi ini membahas mengenai pengaruh perubahan ekonomi terhadap perkembangan Islam di Bengkulu pada akhir abad ke 19 hingga awal abad ke 20. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa perkembangan Islam makin pesat seiring bersamaan dengan tingginya tingkat kesejahteraan penduduk yang disebabkan oleh adanya perubahan ekonomi. Dalam hal ini, perdagangan kopi yang pesat pada awal abad 20 memungkinkan penduduk mengkalkulasikan keuntungan ekonominya untuk digunakan beribadah haji ke Mekkah.
Efek lain dari pesatnya perdagangan kopi itu ialah mematikan sektor pertanian padi di Bengkulu karena penduduk lebih memfokuskan pertaniannya pada jenis tanaman komersil, yakni kopi.
Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian
1. Metode Penelitian
Dalam kamus The New Bricon Webster Dictionary of English Languange, dicantumkan metode adalah “suatu cara untuk berencana sesuatu; suatu prosedur untuk mengerjakan sesuatu; keteraturan dalam berbuat, berencana dan lain-lain; suatu susunan atau sesuatu yang teratur”. Dalam kaitan dengan penelitian sejarah ialah bertujuan untuk “bagaimana mengetahui sejarah”.[25]
Menurut Helius Sjamsudin,[26] setidaknya ada enam langkah dalam penelitian sejarah, yaitu: 1) memilih suatu topik yang sesuai, 2) mengusut semua evidensi (bukti) yang relevan dengan topik, 3) membuat catatan tentang apa saja yang dianggap penting dan relevan dengan topik, 4) mengevaluasi secara kritis semua evidensi yang telah dikumpulkan, 5) menyusun unsur-unsur penelitian ke dalam suatu pola yang benar, dan 6) menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan mengkomunikasikannya kepada para pembaca sehingga dapat dimengerti sejelas mungkin.
Kuntowijoyo membagi penelitian sejarah itu ke dalam lima tahap, yaitu: 1) pemilihan topik, 2) pengumpulan sumber, 3) kritik atau verifikasi sumber, 4) interpretasi, dan 5) historiografi atau penulisan,[27] sedangkan Louis Gottschalk menyebutkan bahwa intisari metode sejarah itu,[28] ialah:
.... bertumpu kepada empat kegiatan pokok:
1. pengumpulan obyek tertulis, dan lisan yang relevan
2. menyingkirkan bahan-bahan yang tidak otentik
3. menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya
4. penyusunan kesaksian menjadi sesuatu kisah atau penyajian yang berarti...
Berdasarkan pada pendapat-pendapat tersebut di atas, maka langkah-langkah penelitian sejarah yang diambil dalam skripsi ini, adalah sebagai berikut:
a. Heuristik, yakni pengumpulan sumber. Dalam tahap ini peneliti melakukan usaha pengumpulan sumber yang relevan dengan objek studi penelitian, dan yang memiliki korelasi dengannya, di antaranya ialah tabel dan data statistik. Sumber-sumber itu diperoleh dari koleksi Arsip Nasional RI (ANRI) Jakarta dan Perpustakaan Nasional RI (PNRI) Jakarta. Selain itu, sumber-sumber lain juga diperoleh di Perpustakaan Umum Kolese Santo Ignatius (KOLSANI) Yogyakarta, Perpustakaan Daerah (PERPUSDA) Yogyakarta, Perpustakaan Pusat Studi Pedesaan dan Kependudukan (PSPK) Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Yayasan Hatta (Hatta Foundation), dan Perpustakaan Pusat (UPT) Universitas Negeri Yogyakarta.
Menurut jenisnya, sumber itu dapat dikategorikan menjadi dua, yakni: sumber primer dan sumber sekunder. Menurut Gottschalk, sumber primer adalah kesaksian dari seseorang dengan mata kepala sendiri atau saksi dengan panca indera lain atau alat mekanik,[29] sedangkan J.W. Best,[30] mendefinisikan sumber primer sebagai sumber cerita atau catatan saksi, ataupun pengamat, yang berisi catatan saksi di mana para saksi tersebut menyaksikan peristiwa itu, atau menjadi pelaku utama dari peristiwa.
Dari kedua pengertian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa sumber primer merupakan sumber langsung dalam sebuah peristiwa sejarah. Berdasarkan pada pendapat-pendapat itu, sumber primer yang gunakan adalah:
Extract Uit het Register der handelingen en Resolutien van den Gouverneur Generaal (G.G) in Rade, 1832-1833 (ANRI B: 6 /15).
Extract Uit het Register der handelingen en besluiten van den Asisten Residen van Bencoolen, 10 Augustus 1840 (ANRI B: 2/3).
Generale Zamentrekking van Bevolking, Asst. Resident Benkoelen, 1840, 1845, 1855, Assistant Residentie Benkoelen (ANRI B: 6/14).
Kultuur Verslag 1860-1866 (ANRI B: 3/13).
Nota Over Benkoelen Geschreven te Padang, 18 Februarij 1840, door Residen van Ajer Bangis, de Perez (ANRI B: 6/9).
Opgave van den gedurende Jaren 1837, 38 en 39 Uitgevoerde Specerijen van Benkoelen (ANRI B: 6/15).
Over Pangerang Raads (ANRI B: 6/13).
Sumber sekunder, menurut Helius Sjamsudin, adalah apa yang ditulis oleh sejarawan sekarang atau sebelumnya berdasarkan pada sumber-sumber pertama atau primer.[31] Louis Gottschalk berpendapat bahwa sumber sekunder adalah sumber yang diperoleh bukan dari kesaksian atau pelaku langsung dari peristiwa.[32] Adapun sumber sekunder yang digunakan, yaitu:
Abdullah Siddik. 1996. Sejarah Bengkulu 1500-1990. Jakarta: Balai Pustaka.
A.B. Lapian dan Soewadji Sjafei. 1984. Sejarah Sosial Daerah Kota Bengkulu. Jakarta: Depdikbud.
Agus Setiyanto. 2001. Elite Pribumi Bengkulu, Perspektif Sejarah Abad ke-19. Jakarta: Balai Pustaka
William Marsden. 1811. “The History of Sumatra”. Terjemahan: A.S. Nasution dan Mahyudin Mendim. 1999. Sejarah Sumatra. Bandung: Remaja Rosda Karya.
P. Wink. 1926. De Onderafdeeling Lais in de Residentie Bengkoeloe. VBG, Deel LXVI, Batavia: Martinus Nijhoff.
b. Kritik sumber, yaitu verifikasi sumber. Dalam tahap ini, peneliti melakukan verifikasi sumber atas sumber yang telah diperoleh untuk memastikan keabsahan dan keotentikan sumber itu sebelum digunakan dalam kegiatan penelitian. Adapun kritik sumber dibagi ke dalam dua bentuk kritik, yakni: kritik ekstern, dan kritik intern. Kritik ekstern adalah upaya menguji otentisitas sumber ditinjau dari segi fisik, misalnya jenis bahan baku (kertas dan tinta), tahun pembuatan, ataupun usia sumber. Sedangkan kritik intern yaitu usaha menyelidiki keakuratan sumber dari segi isi atau muatan sumber dilihat dari sifat sesuai tidaknya informasi yang dimiliki sumber dengan persoalan yang akan dibahas, baik itu menyangkut kebenaran isi, gaya bahasa, ataupun ide yang dikandung sumber. Dengan adanya kritik sumber itu diharapkan peneliti dapat mengurangi kesalahannya di dalam memilih sumber sebelum digunakan dalam kegiatan penulisan.
c. Interpretasi, yaitu usaha interpretasi atau menafsir sumber. Dalam tahap ini peneliti sedikit melakukan interpretasi atau penafsiran sumber, tetapi lebih banyak menghitung berdasarkan tabel dan data statistik. Hasil kesimpulan dari pembacaan tabel dan penghitungan data statistik itu digunakan untuk mendukung analisis dan hipotesa penelitian.
d. Historiografi, yaitu penulisan sejarah. Tahap ini merupakan penyajian hasil penelitian dalam bentuk penulisan sejarah. Hasil penelitian itu ialah kesimpulan atau sintesa yang telah diperoleh setelah melewati tahapan-tahapan pokok dalam penelitian sejarah seperti heuristik, kritik sumber, dan interpretasi. Adapun objektivitas tulisan sejarah yang dihasilkan dari penulisan itu juga dipengaruhi oleh sumber-sumber yang digunakan (primer maupun sekunder), dan sumber-sumber pendukung lainnya.
Pendekatan Penelitian
Suatu peristiwa sejarah tentu mengandung kompleksitas unsur yang perlu dijelaskan secara multiaspek agar diperoleh gambaran menyeluruh dari jalannya peristiwa. Menurut Sartono Kartodirdjo,[33] kompleksitas unsur dari tiap peristiwa sejarah dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan multidisipliner, yaitu pendekatan multidimensional, yang menggunakan bantuan ilmu-ilmu lain di luar disiplin ilmu sejarah.
Penelitian ini menggunakan pendekatan multidimensional, yaitu sosiologi, ekonomi, dan politik.
Pendekatan sosiologi adalah suatu pendekatan yang menyelidiki persoalan-persoalan umum di dalam masyarakat dengan maksud untuk menemukan dan menafsirkan kenyataan-kenyataan kehidupan kemasyarakatan; atau dengan kata lain berusaha untuk memahami kekuatan dasar yang berada di belakang tata kelakuan sosial tersebut.[34] Menurut T.B. Bottomore (1972),[35] studi sosiologis dipusatkan pada hal-hal mengenai perubahan struktur sosial dan kebudayaan yang disebabkan proses industrialisasi, serta disharmoni struktural yang terjadi pada periode transisi. Dalam hal ini, penulis menggunakan teori paksa atau Dwang Theory untuk melihat perkembangan sosial masyarakat yang terjadi selama masa Sistem Tanam Paksa di Bengkulu.
Sebagaimana dijelaskan Mar’at (1988),[36] asumsi teori paksa atau Dwang Theory bahwa kekuasaan adalah sarana ampuh untuk mencapai keteraturan sosial. Keteraturan sosial itu dapat diperoleh dari paksaan fisik dan moral. Paksaan moral akan diterima, apabila nilai-nilai yang dipaksakan tersebut diterima. Tetapi akibat yang sering muncul ialah tindakan protes sosial, semisal gerakan bawah tanah, persekongkolan, disorganisasi sosial, tertib semu dan suasana tegang. Keadaan itu pada gilirannya akan memunculkan suatu perubahan sosial. Dalam kajian ini, teori paksa atau dwang theory digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor pemicu perubahan sosial selama dilaksanakannya Tanam Paksa di Bengkulu.
Pendekatan ekonomi adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk menggambarkan jalan sejarah yang ditempuh oleh perekonomian suatu masyarakat dalam perkembangannya dari dahulu sampai sekarang.[37] Salah satu prinsip ekonomi menyatakan bahwa perubahan ekonomi dan sosial secara efektif tidak akan terlaksana tanpa diikuti perubahan-perubahan yang berkaitan dengan kelembagaan sosial, politik dan ekonomi dari suatu bangsa.[38] Struktur politik dan kepentingan pribadi serta kelompok elite berkuasa akan berperan serta dalam menentukan strategi ekonomi dan sosial bagi terselenggaranya suatu perubahan ekonomi dan sosial yang efektif, baik melalui cara persuasif ataupun pemaksaan. Dalam kajian ini, pendekatan ekonomi tersebut digunakan untuk mengetahui pola-pola perubahan kelembagaan sosial, ekonomi dan politik di Bengkulu selama berlangsung Sistem Tanam Paksa.
Pendekatan politik adalah suatu pendekatan yang mempelajari segala aktivitas yang berhubungan dengan kekuasaan dan bermaksud mempengaruhinya dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu macam bentuk susunan masyarakat.[39] Charles F. Andrain mendefinisikan kekuasaan sebagai penggunaan sumber daya aset dan kemampuan untuk memperoleh kepatuhan atau tingkah laku menyesuaikan dari orang lain.[40] Menurut Andrain, tuntutan-tuntutan pemegang kekuasaan terhadap objek kekuasaan pada mulanya mungkin akan ditentang, muncul sikap antipati, tetapi juga sebaliknya mendukung tuntutan itu. Pemegang kekuasaan ketika dihadapkan pada reaksi-reaksi itu mempunyai pilihan-pilihan: mencoba mengatasi penolakan, berusaha membangunkan mereka yang apatis dari keengganan mereka, atau mengambil langkah untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan dari satu persatu pendukung yang terpisah. Dalam kajian ini, pendekatan politik digunakan untuk mengetahui pola-pola respon penduduk sebagai objek kekuasaan terhadap pemerintah kolonial Belanda sebagai pemegang kekuasaan selama pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Bengkulu.
Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pengertian mengenai garis besar isi penelitian maka selanjutnya dalam pembahasan dalam penelitian ini akan dibagi ke dalam beberapa bab, yaitu sebagai berikut:
PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian teori, historiografi yang relevan, metode penelitian dan pendekatan penelitian, dan sistematika pembahasan.
GAMBARAN UMUM BENGKULU
Bab ini menjelaskan tentang situasi dan kondisi umum Bengkulu meliputi kondisi alam, demografi, pola pertanian, dan keadaan pemerintahan.
TANAM PAKSA LADA TAHUN 1832-1833
Bab ini menjelaskan pelaksanaan Tanam Paksa Lada tahun 1832-1833. Pembahasan dalam bab ini berisi mengenai ketentuan Tanam Paksa Lada tahun 1832-1833 dan keterlibatan pemuka pribumi, dan pelaksanaan Tanam Paksa Lada serta faktor yang mempengaruhinya.
SISTEM TANAM PAKSA TAHUN 1833-1870
Bab ini menjelaskan Sistem Tanam Paksa pada tahun 1833-1870. Penjelasan bab ini diawali dengan dikeluarkannya surat keputusan Van den Bosch tertanggal 14 Oktober 1833, no. 369 mengenai pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Bengkulu, dilanjutkan dengan uraian tentang Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa, Kegagalan Penanaman Lada dan Kopi, Penerapan Pajak Kepala, dan diakhiri dengan penjelasan Akhir Sistem Tanam Paksa di Bengkulu serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
DAMPAK SOSIAL SISTEM TANAM PAKSA
Bab ini menjelaskan tentang dampak pelaksanaan Sistem Tanam Paksa bagi penduduk, yakni dampak sosial ekonomi bagi penduduk, dan dampak politik bagi pemuka pribumi.
KESIMPULAN
Bab ini merupakan jawaban dari rumusan masalah.
[1] Istilah Sistem Tanam Paksa merupakan adaptasi dari Cultuurstelsel yang arti sesungguhnya adalah sistem penanaman. Tetapi dalam studi ini digunakan istilah Sistem Tanam Paksa untuk menyebut sistem penanaman yang bersifat “memaksa” yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, lihat Tim Penyusun. “Cultuurstelsel”, dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia 4 (Jakarta: Depdikbud, 1992), hlm. 203-204.
[2] Keuntungan finansial bersih atau batige slot yang diperoleh pemerintah Belanda melalui Sistem Tanam Paksa antara tahun 1831-1834, yakni berjumlah f.16 juta, lihat Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Imperium Sampai Imperium (Jakarta: Gramedia, 1999), hlm. 312.
[3] Thee Kian Wie. “The Development of Sumatra 1820-1940”, dalam Angus Maddison & Ge Prince (eds.). Economic Growth in Indonesia 1820-1940. VBG, deel 139 (Hollad-USA: Foris Publications, 1989), hlm. 133-4.
[4] D.G.E. Hall. Sejarah Asia Tenggara (Surabaya: Usaha Nasional, 1999), hlm. 102.
[5] Tanam Paksa Lada yang berlangsung tahun 1832 merupakan penanaman lokal yang berfokus pada penyerahan wajib lada, yang persetujuan penanamannya ditandatangani oleh para pemuka pribumi dan pejabat pemerintahan Belanda di daerah. Mengenai perjanjian penanaman lada, lihat Extract Uit het Register der handelingen en Resolutien van den Gouverneur Generaal (G.G) in Rade, 1832-1833 (ANRI B: 6 /15).
[6] Agus Setiyanto. Elite Pribumi Bengkulu. Perspektif Sejarah Abad ke-19. (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm.
[7] Mengenai perlawanan Kaum Paderi terhadap Belanda di Sumatra Barat, lihat Rusli Amran. Sumatra Barat Plakat Panjang (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hlm. 15.
[8] Lihat Marwati Joenoed P, dkk. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid IV (Jakarta: Depdikbud, 1997), hlm. 99-100.
[9] Ibid.
[10] Kenneth R. Young. “Sistem Tanam Paksa di Sumatra Barat: Stagnasi Ekonomi dan Jalan Buntu dalam Politik,” dalam Anne Booth (et. al). Sejarah Ekonomi Indonesia. Terjemahan: Mien Joebhaar (Jakarta: Sinar Harapan, 1988), hlm. 74-98.
[11] Harjono Haroen. 1990. “Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Bengkulu. Suatu Tinjauan Sejarah Sosial Ekonomi” (Surakarta: FS UNS, Skripsi S1, tidak diterbitkan), hlm. 69.
[12] J.H. Boeke. 1926. “Ekonomi Dualistis”, dalam D.H. Burger dan J.H. Boeke.. Ekonomi Dualistis: Dialog Boeke dan Burger (Jakarta: Bhratara, 1973), hlm. 27-8; 31-2.
[13] Clifford Geertz. 1976. “Agriculture Involution”. Terjemahan: S. Supomo. Involusi Pertanian. Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Jakarta: Karya Aksara, 1983), hlm. 73-4.
[14] Suyatno Kartodirdjo. “Relevansi Studi Sistem Tanam Paksa Bagi Perekonomian Indonesia”, dalam Robert Van Niel. 1992. “Java under the Cultivation System: Collected Writings”. Terjemahan: Hardoyo. Sistem Tanam Paksa di Jawa (Jakarta: LP3ES, 2003), hlm. vii.
[15] Menurut Kuntowijoyo, adanya perbedaan ekologi ladang, sawah dan sagu dalam sejarah ekonomi Indonesia cukup menunjukkan bahwa dari ekologi yang berbeda lahir struktur ekonomi yang berbeda, sekalipun masih dalam kerangka sistem ekonomi agraris, Selain itu, tiap-tiap daerah di Indonesia juga menempuh jalan sendiri-sendiri dalam perkembangan perekonomiannya, lihat Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1992), hlm. 92.
[16] Lihat J.H. Boeke, op. cit., hlm. 23-4
[17] Robert L. Heilbroner. “The Making of Economic Society.” Terjemahan: Sutan Dianjung. Terbentuknya Masyarakat Ekonomi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 23-8.
[18] Pendapat lain menyebutkan bahwa sistem ekonomi di pedesaan Indonesia merupakan gabungan antara aspek ekonomi dan sosial. Aspek ekonomi itu adalah ekonomi berdasarkan perintah (birokrasi), sedangkan aspek sosial adalah ekonomi berdasarkan adat (tradisi), lihat Kuntowijoyo, op. cit., hlm 104-5.
[19] Clifford Geertz, loc. cit.
[20] B.J.O. Schrieke. Penguasa-penguasa Pribumi. Terjemahan: Soegarda Poerbakawatja (Jakarta: Bhratara, 1954), hlm. 82.
[21] Heather Sutherland. 1979. “The Making of A Beureauctic Elite”. Terjemahan: Sunarto. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm. 32.
[22] D.H. Burger. Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jilid I. Terjemahan: Prajudi Atmosudirdjo (Jakarta: UI press, 1957), hlm. 197.
[23] Karl Marx, “Teori Konflik”, dalam Tom Campbell. 1981. “Seven Teories of Human Society”. Terjemahan: F. Budi Hardiman. Tujuh Teori Sosial. Sketsa, Penilaian, Perbandingan (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 134.
[24] Louis Gottschalk. 1969. “Understanding History: A Primer of Historical Method”. Terjemahan: Nugroho Notosusanto. Mengerti Sejarah (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 32-34.
[25] Helius Sjamsudin. Metodologi Sejarah (Jakarta: Depdikbud, 1996), hlm. 1-2.
[26] Ibid., hlm. 69.
[27] Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2001, cet. iv), hlm. 91
[28] Louis Gottschalk, op. cit., hlm. 18.
[29] Ibid., hlm. 35.
[30] J.W. Best. 1982. “Metodology Research in Education”. Terjemahan: Sanapsiah Faisal dan Mulyadi. Metodologi Penelitian (Surabaya: Usaha Nasional, 1999), hlm. 31.
[31] Helius Sjamsudin, op. cit., hlm. 80.
[32] Louis Gottschalk, op. cit., hlm. 35.
[33] Sartono Kartodirdjo. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme (Jakarta: Gramedia, 1999), hlm. 229.
[34] Soejono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 1985), hlm. 369.
[35] ---------. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 25.
[36] M. Munandar Soelaiman. Dinamika Masyarakat Transisi. Mencari Alternatif Teori Sosiologi dan Arah Perubahan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 91.
[37] Mohammad Hatta. Pengantar kedjalan Ekonomi Sosiologi (Jakarta: Fasco, 1984), hlm.
[38] Michael P. Todaro. 1992. “Economics for a Developing World. An Introduction to Principles, Problems and Policies for Development.” Terjemahan: Agustinus Subekti. Ekonomi Untuk Negara Berkembang. Suatu Pengantar tentang Prinsip-prinsip, Masalah dan Kebijakan Pembangunan. Jilid 1 (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 42.
[39] Deliar Noer. Pengantar ke Pemikiran Politik I (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hlm. 6.
[40] Charles F. Andrain. “Political Life and Social Change”. Terjemahan: Luqman Hakim. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hlm. 130-31.